Saturday, June 9, 2007

CobA baCa aje

Menghadang tantangan dan penderitaan apaaa saj itu lebih berharga daripada mengembalikan perdamaian. Kupu-kupu yang berterbangan mengiringi lsmpu hinggs msti lebiH mengagungkan daripada....tIkus yang hidup di terowongan yang gelap gulita.....

Masa Depan Menjenguk

Di belakang dinding masa kini, aku mendengar lagu kemanusiaan. aKu mendengar suara bunyi lonceng yang menandai dimulainya waktu untuk berdoa di kuil keindahan. lonceng yang menggetarkan labirin emosi, menentramkan altar suci, hati manusia.

DiBelkang mAsa dePan, aku lihat orang-orang beribadah sepanjang dada dalam semesta, wajah mereka menghadap ketimur dan mereka menunggu percikan cahaya pagi, pagi kebenaran. Aku melihat sebuah kota yang telah menjadi puing-puing dan tidak ada lagi yang diceritakan pada mereka yang menyerah pada keburukan dan kepada siapa saja yang telah meraih kemenangan cahaya.

aQ melihat orang-orang yang tua duduk di bawah bayang pohon cemara dan pohon badam, di kelilingi oleh para pemuda yang setia mendengarkan cerita sejarah masa lalu.

aku juga melihat beberapa pemuda memetik gitar dan di balik bulumata mereka sorotnya menyeruak, sedangkan gadis-gadis dengan rambut tergerai menari-nari di bawah pohon melur.
Aku juga melihat para suami yang sedang memanengandum dan istri-istri mereka menghumpulkan gandum yang terjatuh di tanah sambil menyanyikan lagu-lagu keceriaan.

aQ melihat para wanita menyematkan bunga bakunG di kepala mereka dan mErias diri dengan dEdaunan hijau.

aQ melihat persahabatan yang erat antara laki-laki dan makhluk lain, antara burung dengan kupu-kupu, antara kepercayaan diri dan rasa aman. Persahabatan itu mengibaskan sayapnya ke parit-parit.

Aq tidak melihat tabib karena, setiap orang mempunyai obat dan pengetahuan untuk menyembuhkan dirinya.
Aku tidak melihat seorang pembela huku, karena alam semestatelah menjadi tempat pengadilan sejati, dan risalah hubungan baik serta persahabatan telah menjadi kekuatan bersama.

AKu melihat manusia mengetahui bahwa dirinya adalah batu pertamapenciptaan dan dia telah mengangkat dirinya di atas kekerdialan dan kehinaan serta menyingkap tabir kebingungan yang melilit jiwa.

Jika jiwa ini sekarang telah purna membaca apa yang dilukis angin di atas permukaan air, maka ia telah mengerti makna nafas bunga dan irama nyanyian burung bulbul.

dI belakang dinding masa kini, di atas panggung masa depan, aQ melihat keindahan seperti mempelai pria dan jiwa seperti mempelai wanita, dan kehidupan seperti malam kedeRe.

Untaian kasih,haraPan juga kerinduan

Kenapa cinta belum juga menghampiri ku,
kapan kau akan menghampiriku,
apakah engkau rela jika jika dijiwaku tak ada cinta,
begitu teganya engkau jika tak mau menghampiriku.
Jiwaku yang selalu merindukanmu hanyalah sebuah baying-bayang,
hanyalah sebuah mimpi yang tak pernah ada nyata,
apakah kau mengujiku, apakah kau mengutukku,
jika itu kemauanmu akan kurelakan kau akan kuikhlaskan kau.
Pengharapanku hanyalah sebuah angan-angan,
ketentraman jiwaku han yalah kepalsuan,
hidupku hanyalah sia-sia belaka karena tak ada pengaharapan.
Ruang jiwaku tlah kusediakan tuk bermukimmu,
sejatinya kau tlah mendengarkanku.
Pengorbananku hanyalah untukmu, sampai ku lukis byang dan tertawamu.
Akhirnya aku pasrah dengan sgala perlakuanmu yang tak kunjung pilu.

biL4 cIEnTa....................

cInTae

Apakah cinta selalu mendatangi jiwa yang sedang rindu /Ketika itu cinta merasuk ke dalam jiwa/Yang tak pernah mau pergi dari samudra jiwa/Berapa lama cita akan selalu mengiringi jiwa/Seandainya cinta telah berlari dari jiwa yang tak tenang/Maka apa yang akan terjadi/Ku himpun cerita tentang kesaksianku dalam benaku/Ketiaka cinta menghampiri jiwaku/Bukanlah relung jiwa yang tak mau menerima kehadiran cinta/Tetapi sesungguhnya cinta belum pernah sirna dari jiwa yang merindukannya/Apa sebenarnya di balik kerinduan/Apakah kerinduan akan membawa kesediahan/Apakah kerinduan akan membawa malapetaka jiwa/Ketika bunga-bunga memberikan keharuman/Maka disitulah getaran-getaran semerbak cinta tumbuh entahlah bagaimana

sEbuah Kopi dAn PaSanGannYa


Ketika sebuah kopi yang ditemani sebungkus rokok , rasanya yang pas, tidak kebanyakan gula dan kopinya serasa didampingi oleh seorang kekasih, yang penuh dengan senyuman, senyuman yang membawa kebahagiaan, kedamaian, apalagi ketika hati kebingungan memikirkan yang tak karuan, seakan-akan hidup ini syurga yang tak pernah dialami oleh setiap orang yang hidup. Dengan kopi dan rokok juga menjadikan masa depan yang cerah walaupun kata pepatah mengatakan Merokok Itu Menyebabkan Kankenr dan gangguan kehamilan dan janin, tetapi semua ancaman itu terlupakan dengan sejenak. Rokok serasa sunyi bila tidak ada kopi disampingnya begitu juga kopi merasa kesepian jika tak ada kamu (rokok), berbahagialh bagi orang-orang yang suka merokok dan sambil meneguk segelas kopi. Tunggulah beberapa lama nanti akan menemukan begitu sakitnya orang perokok ketika ingin merokok, ketika ingin mengopi tak ada kopi, tak ada rokok. Tetapi jangan khawatir jika tidak ada keduanya itu, masih ada satu atu dua tuk penenangnya yah bisa minum the manis yang angat atau minum air yang jernih juga angat. Dengan merokok juga jangan merasa takut akan kemiskinan, Suatu cerita ada simiskin dan sikaya, simiskin sukanya merokok, dan sikayak tidak pernah suka dengan merokok, sikaya berkata kepada simiskin yang suka merokok, Kamu dah miskin rumah jelek kenapa masih ngerokok? Lebih baik uang kamu yang buat ngerokok kumpulin aja, merokoknya berhenti, pasti kamu akan kaya dan punya rumah yang bagus, setelah dinasihati si miskin mengikuti petunjuk atau nasihat si kaya, di kumpulkan selama bertahun-tahun uang jatah rokoknya, setelah dapat banyak uang tabungannya karena meninggalkan merokok si miskin bisa membuat rumah dan menyaingi si kaya, tetapi apa kejadiannya setelah ia berhenti ngerokok kemudian bisa membuat rumah yang bagus eh ternyata rumahnya yang brau selesai itu terbakar, dan dia berpikir. Perokok, oh iya itu kan yang bukan buat jatah bikin rumah tetapi buat jatah ngerokok, makanya rumahku terbakar. Maka akhirnya si miskin itu kembali merokok kembali karena dia berpendapat bahwa rumahnya terbakar itu akibat mengambil atau memakai uang buat beli rokok, makanya rumahnya kebakaran. Dari cerita di atas janganlah percaya jika karena berhenti merokok akan merasa tenang, merasa kaya, tidak begitu kan. Makanya jangan berhenti ngerokok. Jangan pernah takut mati, tapi ingatlah bagi perokok kematian akan mengiringi dan mengejarmu………….

Friday, June 8, 2007

dZahir

Beban menjadi seorang pengarang yang pernah melahirkan karya monumental sangatlah berat. Setiap karya berikutnya selalu menarik perhatian publik dan selalu diperbandingkan dengan karya monumentalnya. Paulo Coelho rupanya harus menerima kenyataan ini, setelah Sang Alkemis menjadi buku best seller dunia, dan diterjemahkan dalam 56 bahasa, setiap Coelho menerbitkan karya terbarunya orang cenderung bertanya-tanya "Apakah karya ini sebaik sang Alkemis?". Hal inilah yang rupanya akan terus menjadi pertanyaan abadi bagi publik dan tentunya akan memacu Coelho untuk melahirkan karya-karya terbaiknya, sebab jika tidak, hal ini akan menjadi bumerang bagi karier kepenulisannya.

Zahir yang merupakan karya teranyar dari Paulo Coelho seolah hendak membuktikan kekonsistennya dalam melahirkan karya-karya sebaik Sang Alkemis. Novel Zahir yang pertama kali diterbitkan oleh Harper Colins pada Sepetember 2005 telah mengungguli daftar Best Seller di Amerika Serikat. Sayang pencapaian untuk menembus angka-angka penjualan yang fantastis tersandung ketika Zahir dilarang beredar di Iran oleh Kementrian Kebudayaan Iran (BBC, 13 Mei 2005) dengan dalih popularitas Coelho dianggap berbahaya bagi masyarakat Iran.

Dalam Zahir yang banyak disebut-sebut sebagai novel semi-otobiografi, Coelho menulis tentang kisah seorang penulis besar yang berasal dari sebuah negara di Amerika Latin yang karyanya menjadi best seller dunia. Dari seluruh kisah hidup si penulis yang terungkap di novel ini akan nampak bahwa ciri-ciri tokoh ini mirip sekali dengan Coelho, Meski demikian cerita ini bukanlah kisah hidup Coelho yang sesungguhnya. Rupanya dalam Zahir Coelho hanya memasukkan karakter dirinya dan aktifitas kesehariannya sebagai penulis dalam diri tokoh utamanya.

Dikisahkan seorang penulis terkenal mendapati istrinya, Esther seorang wartawan perang, tiba-tiba saja menghilang secara misterius. Tak ada yang salah dalam pernikahan mereka, kedua-duanya saling mencintai bahkan Esther pulalah yang memotivasi suaminya dalam berkarya hingga melahirkan karya best seller dunia " Ada Waktu Untuk Merobek, Ada Waktu Untuk Menjahit". Ketiadaan istrinya tersebut membuat Esther menjadi Zahir/obsesi bagi si penulis untuk menemukannya kembali.

Hanya sedikit petunjuk yang diperolehnya dalam mencari Esther, beberapa orang mengatakan Esther kerap bertemu dengan seorang pemuda berkulit gelap dengan wajah ras Mongolia. Mereka berdua terlihat terakhir kali di sebuah kafe di Paris. Akhirnya si penulis berhasil menemui pemuda tersebut, Mikhail namanya, seorang pemuda yang berasal dari Kazakhstan. Mikhail mengetahui dimana Esther berada, namun hingga suatu saat tertentu ia belum juga memberitahukan dimana Esther berada sebelum ia mendapat bisikan dari "Sang Bunda" tokoh spritual yang dipercayainya dan memberinya misi untuk mewujudkan kekuatan Cinta bagi pembaharuan dunia.
Si penulis akhirnya mengikuti kemana Mikhail pergi. Pencarian sang penulis atas isitrinyapun dimulai. Si penulis dibawanya kedalam suatu pertemuan-pertemuan spiritual yang dipercaya Mikhael dan kelompoknya dapat mewujudkan misi "Cinta" yang ternyata awalnya dimotori oleh Esther. Melalui serangkaian pertemuannya dengan Mikhail si penulis mulai menelusuri kembali jejak kebersamaannya dengan sang istri, hal-hal yang terjadi dengan perkawinan mereka, hingga perpisahan itu. Tidak itu saja, pencarian Zahir ini membawa dirinya keluar dari dunianya yang aman dengan berkelana dari Amerika Selatan, Spanyol, Perancis, menapak pada jalur sutra hingga Kroasia dimana terdapat kawasan padang rumput di Kazakhstan dan mengenal cara hidup kaum nomaden. Perjalanan inilah yang akhirnya akan membawa si penulis melakukan perjalanan melintasi seluruh masa lalunya, melihat kesalahan yang ada pada dirinya, mengenal wanita yang dikawininya dan juga memperoleh pemahaman baru tentang hakikat cinta dan kekuatan takdir, dan juga kepekaan dan arti dalam mengikuti suara hati yang oleh Mikhail dikatakan suara dari "Sang Bunda"

Sama seperti novel-novel Coelho lainnya, kali ini Coelho pun menuturkan suatu cerita dengan gayanya yang kuat dan menawan yang sarat dengan kedalaman makna. Makna Zahir yang diambil dari cerpen Jorge Luis Borges ini digambarkan oleh Coelho sebagai sesuatu yang sekali disentuh atau dilihat tak bisa terlupakan, dan sedikit demi sedikit akan memenuhi seluruh pikiran kita, sehingga kita terjerumus pada kegilaan (hlm. 75). Melalui definisi Zahir ini pembaca disadarkan bahwa setiap orang memiliki Zahir-nya masing-masing, dan bila kita bisa menapakinya dengan benar maka zahir ini akan menjadi inspirasi, kekuatan dan energi hidup yang melahirkan kreatifitas-kreatifitas baru.

Selain sarat dengan makna, novel ini juga menyuguhkan sisi yang menghibur. Tokoh utama novel ini yang seorang pengarang terkenal membuat novel ini mengungkap bagaimana sebenarnya keseharian seorang penulis terkenal baik dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan para wartawan yang selalu menayakan hal yang itu-itu saja, pengalamannya dalam menandatangani buku-bukunya, gencarnya para kiritikus dalam mencerca novel-novelnya, dll, sehingga melalui novel ini pembaca memperoleh gambaran seperti apa rasanya menjadi seorang penulis terkenal.

Untaian kalimat-kalimat dialog penuh makna dalam Zahir bagi orang yang bisa memahaminya menjadikan novel ini novel yang menginspirasi dan menggugah pembacanya, namun bagi yang tidak terbiasa membaca novel-novel jenis ini, Zahir dengan ketebalan 440 halaman ini bisa menjadi novel yang membosankan dan menimbulkan tanda tanya besar "Apa sih yang dimaksud dengan novel ini?" sehingga mungkin saja pembaca akan mencampakkan novel ini sebelum selesai menamatkannya. Namun andai saja kita terus membaca dan mencoba memaknai novel dengan sabar hingga lembar –lembar terakhir, maka kita akan menemukan semua jawaban dari kebingungan kita terhadap novel ini

AL HALLAJ "Martir pertama dalam tasawuf"

Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran”, ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut


Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, “Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”

Kehidupan Al-Hallaj

Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, IranPersia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan

Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.

Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.

Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu.

Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta) Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.

Enam tahun berlalu, dan pada 892M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.

Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.

Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.

Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.

Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.

Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.

Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: “Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh.” Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”

Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.

Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat dan, dengan harapan meraih kekuasaan, berusaha memanfaatkan pengaruhnya pada masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan keresahan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Di atas segalanya, berbagai gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir secara dramatis.

Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.

Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.

Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.

Demikian, al-Hallaj dibunuh secara brutal. Akan tetapi ia tetap hidup dalam kalbu orang-orang yang merindukan capaian rohaninya. Dengan caranya sendiri, ia telah menunjukkan pada para pencari kebenaran langkah-langkah yang mesti ditempuh sang pecinta agar sampai pada kekasih

Berbagai legenda dan kisah tentang al-Hallaj

Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru (khususnya kapas)? Menurut Aththar, suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu. Biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Ia juga dijuluki Hallaj- al-asrar –penggaru segenap Kalbu– karena ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.

Al-Hallaj terkenal karena berbagai keajaibanya. Salah satu orang muridnya menuturkan kisah berikut ini:

Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa ia ingin makan manisan.

Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka telah memakan habis semua bekal yang mereka bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, ia kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah mereka ketahui sebelumya. Ia meminta mereka untuk makan bersamanya, seorang muridnya, yang penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue bagiannya, ketika mereka kembali dari mengasingkan diri sang murid ini mencari seseorang yang bisa mengetahui asal kue itu, seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh dari situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari kotanya, sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara ajaib. “Tak ada seorang pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak sedemikian jauh dalam waktu singkat”! serunya.

Pada kesempatan lain al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju Mekah. Di suatu tempat, sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dia ia pun mengabil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta halwa, ia membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka, usai memakannya mereka mengatakan bahwa kue itu khas berasal dari daerah anu di Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia memperolehnya. Ia hanya menjawab, baginya Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada bedanya, kemudian mereka meminta kurma, ia diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakkan tubuh mereka seperti mereka menggoyang-goyang pohon kurma, mereka melakukannya, dan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.

Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktek apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.

Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya –yang salah satunya berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.

Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Mekah, ia melihat orang-orang bersujud dan berdoa, “Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar.”

Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid’ah, “Akulah Kebenaran.” Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab, “Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian.”

Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, “Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan.” al-Hallaj di jebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!

Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia menjawab, “pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali!”

Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri ia berkata kepada mereka: “Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini,” kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. “Engkau tidak ikut bersama kami?” tanya mereka “Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!” jawabnya

Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka semua.

“Mengapa engkau tidak sekalian pergi?” tanya mereka “Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman,” jawabnya

Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, “Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!” Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, “Jangan takut, putra Manshur.”

Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.

Al-Hallaj digiring untuk di eksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia berseru lantang, “Haqq, Haqq, ana al-Haqq –Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran.”

Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari sesudahnya.

Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin, Melalui kematiannya, al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.

Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. “Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?” tanya orang-orang. “Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku,” jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian:

Kekasihku tak bersalah

Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,

laksana tuan rumah

perhatikan sang tamu

Setelah berlalu sekian lama,

dia menghunus pedang dan

menggelar tikar pembantaian

Inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama

bersama dengan singa

tua di musim panas.

Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu.

Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, “Apa itu tasawuf?” al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. “Adakah yang lebih tinggi dari ini?” tanya Syibli “Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya!”, jawab al-Hallaj.

Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, “Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?”

Al-Hallaj menjawab, “Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik.”

Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, “Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?

Al-Hallaj menjawab “Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya.”

Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, “Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah.” (dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, “Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya!”

Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah. “Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?” tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati.

“Mengapa,” tanya mereka, “Engkau membasahi lenganmu dengan darah?” Ia menjawab, “Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah.”

Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, “Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu.” Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur’an:

“Orang-orang yang mengingkari Hari kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar.”

Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase “Cukuplah sudah satu kekasih.”

Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, “Akulah kebenaran”, sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah.

Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu, mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya berseru, “Akulah Kebenaran.”